Kata Amil berasal dari kata يعمل–عمل yang biasa
diterjemahkan dengan “yang berbuat, melakukan, pelayan”. Amil juga bisa diartikan sebagai orang yang mengumpulkan dan
mengupayakan zakat, juru tulisnya, dan yang membagibagikannya.51Kata amil adalah ism fail yang bermakna pelaku dari
suatu pekerjaan. Maka kata amil bermakna orang yang mengerjakan
sesuatu. Imam Syafi’i pernah menyebutkan:
Imam Syafi’i berkata: Amil zakat adalah orang yang diangkat oleh wali/ penguasa
untuk mengumpulkan zakat].
Amil zakat adalah orang-orang yang bertugas mengumpulkan
zakat yang ditunjuk pemimpin. Mereka ini juga bertugas membagibagikan zakat kepada yang membutuhkan. Amil zakat diberi bagian
zakat senilai upah atas pekerjaan yang mereka lakukan, meski mereka
kaya, karena amil zakat mencurahkan tenaga dan waktu untuk
pekerjaan memungut dan membagikan zakat. Kecuali jika mereka
sudah mendapatkan gaji dari negara. Saat itu tidak diberi bagian dari
zakat
Amil zakat adalah semua pihak yang bertugas memungut,
mencatat, menjaga, dan membagi-bagikan zakat kepada orang yang
berhak. Dalam negara Islam, pengumpul zakat mendapat bayaran dari
hasil pemungutan zakat. Menurut jumhur ulama, kategori amil ini
terbatas hanya kepada pegawai negeri yang berurusan dengan
pengumpulan zakat dan gaji mereka harus dibayar dari pendapatan
negara lain.
Golongan Hanafiyah memakai prestasi kerja atau tolak ukur
honor atau gaji amil, dan harus mempertimbangkan kecukupan yang
wajar bagi amil bersama keluarganya, dengan syarat tidak boleh lebih
dari separuh hasil pemungutan.53
Golongan Syafi’i berpendapat bahwa jatah amil itu sebagai upah
kerja, karena itu semua orang yang melakukan pekerjaan dalam bidang
perzakatan dapat diberi upah dengan kadar yang wajar, bahwa jatah
amil itu dalam batas seperdelapan hasil pemungutan zakat.54
Untuk menjadi seorang pengelola zakat yang profesional, maka
diperlukan syarat-syarat tertentu bagi amil zakat. Menurut Yusuf
Qardawi, seorang amil zakat hendaknya memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:55
a) Hendaknya dia seorang muslim, karena zakat itu urusan
kaum muslimin, maka Islam menjadi syarat bagi segala
urusan mereka.
b) Alasannya adalah karena tugas amil zakat itu merupakan
amanah agama, sehingga hanya mereka yang hatinya sudah
tunduk kepada Allah SWT saja yang dibebankan dan
dipercaya untuk menegakkan zakat.
c) Hendaklah petugas zakat itu seorang mukallaf, yaitu orang
dewasa yang sehat akal pikirannya.
d) Petugas zakat hendaklah orang yang jujur, karena dia
diamanati harta kaum muslimin. Demikian pula sifat
keamanahan yang sangat menonjol dari para petugas zakat di
zaman Rasulullah SAW dan pada zaman khalifah ar-Rasyidin
yang empat, menyebabkan baitul mal tempat menampung
zakat selalu penuh terisi dengan harta zakat kemudian segera
disalurkan kepada orang yang berhak menerimanya.
e) Memahami hukum-hukum zakat. Para ulama mensyaratkan
petugas zakat itu faham terhadap hukum zakat, apabila ia
diserahi urusan umum.
f) Kemampuan untuk melaksanakan tugas. Petugas zakat
hendaklah memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan
tugasnya dan sanggup memikul tugas itu.
g) Disyaratkan laki-kali
Selain syarat tersebut, seorang amil juga hendaklah terampil dari
kaum muslimin, dan bukan dari golongan yan tidak dibenarkan
menerima zakat, yaitu dari keluarga Rasulullah SAW, diantaranya Bani
Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib.
Setidaknya ada empat hal yang menjadi ketentuan tugas seorang
amil, yakni: al-su’ah (pengumpul), al-katabah (administrator), al-hazanah
(penjaga/pemelihara/pengembang), dan al-Qasamah (distributor).
Para pengumpul bertugas mengamati dan menetapkan para
muzakki, menetapkan jenis-jenis harta mereka yang wajib dizakati dan
jumlah yang harus mereka bayar. Kemudian mengambil dan
menyimpannya untuk diserahkan kepada para petugas yang
membagikan apa yang mereka kumpulkan itu. Oleh karena itu, para
pengumpul zakat sangat memerlukan pengetahuan tentang hukumhukum zakat, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan jenis harta,
kadar nisab, haul, dan sebagainya.
Para pembagi bertugas mengamati dan menetapkan, setelah
pengamatan dan penelitian yang seksama, siapa saja yang berhak
mendapatkan zakat, perkiraan kebutuhan mereka, kemudian
membagikan kepada masing-masing yang membutuhkan dengan
mempertimbangkan jumlah zakat yang diterima dan kebutuhan
mereka masing-masing.
Setelah dipaparkan para mustahiq zakat, juga terdapat orang
yang tidak berhak diberi zakat, antara lain:
a) Orang-orang kaya dan kuat bekerja, berdasarkan sabda Nabi
SAW:
Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang
berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk
bekerja.
Ushul (ayah, kakek, dan seterusnya), furu’ (anak, cucu, dan
seterusnya) yang wajib ditanggung nafkahnya. Zakat tidak
boleh diberikan kepada orang yang menjadi tanggungan
nafkah si muzakki, seperti ayah, ibu, kakek, nenek, anakanak, cucu, karena memberikan zakat kepada mereka
membuat mereka tidak lagi membutuhkan nafkah sekaligus
menggugurkan nafkah mereka. Dengan demikian manfaat
zakat dirasakan muzakki. Ia seakan membayar zakat kepada
dirinya sendiri.
b) Orang-orang kafir non muallaf. Zakat tidak boleh diberikan
kepada orang-orang kafir selama tidak bertujuan untuk
meluluhkan hati mereka, berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Dipungut dari orang-orang kaya di antara mereka dan
dikembalikan kepada orang-orang kafir di antara mereka.”
Maksudnya adalah orang-orang kaya di antara kaum
muslimin dan orang-orang fakir di antara kaum muslimin,
bukan golongan lain. Tujuan zakat adalah memberikan
kecukupan kepada orang-orang fakir kaum muslimin,
memperkokoh sendi-sendi cinta dan persaudaraan diantara
individu masyarakat muslim.
c) Keluarga Nabi Muhammad SAW. Zakat tidak halal nagi
keluarga Nabi Muhammad SAW, sebagai kemuliaan dan
penghormatan bagi mereka, berdasarkan sabda Nabi SAW:
[Sesungguhnya zakat tidak dihalalkan bagi Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dan keluarganya. Zakat itu
hanyalah merupakan kotoran manusia].
d) Maula keluarga Nabi SAW. Mereka adalah budak-budak yang
dimerdekakan keluarga Nabi SAW berdasarkan hadis:
[Sesungguhnya zakat tidak dihalalkan bagi kami, dan maula
suatu kaum adalah bagian dari mereka].”60
Makna “bagian dari diri mereka” adalah hukum para maula
sama seperti hukum para tuan. Untuk itu zakat haram bagi
para maula Bani Hasyim.
e) Budak. Zakat tidak diberikan kepada budak karena budak
adalah milik tuannya. Jika zakat diberikan kepada budak,
berarti beralih kepada kepemilikan tuannya. Alasan lain
karena nafkah budak wajib bagi tuannya. Kecuali budak
mukatab. Ia berhak diberi bagian zakat untuk mebayar biaya
pembebasan diri. Juga dikecualikan bagi amil zakat. Jika
seorang budak bertugas sebagai amil zakat, ia berhak diberi
bagian zakat, karena ia sama seperti pekerja. Budak boleh
disewa jasanya atas izin dari tuannya.
Salah satu maksud yang tekandung dalam penetapan kewajiban
zakat ini adalah dalam rangka menjaga atau memulihkan kehormatan
mereka yang tergolong miskin, yang mungkin karena ditekan atau
dipaksa oleh keadaan yang begitu sulit dan pahit. Namun demikian,
jika hak para mustahiq zakat tidak dikelola dan diarahkan secara baik,
tidak menutup kemungkinan justru akan menambah pahitnya derita
yang mereka rasakan sebagai akibat dari kefakiran mereka.
Tidak sedikit diantara umat Islam yang pada mulanya beriman
lalu kemudian menggadaikan imannya dan menjadi kafir karena
dihimpit oleh kefakiran. Berdasarkan pertimbangan ini perlu
dirumuskan etika yang harus dijaga dan dipatuhi oleh setiap mustahiq,
antara lain:
a) Bersyukur kepada Allah SWT. Pemberian bantuan dana zakat
kepada para mustahiq merupakan karunia Allah SWT yang
harus disyukuri oleh penerimanya. Karena jika karunia
tersebut tidak disukuri, maka tidak menutup kemungkinan
dana zakat tersebut tidak membawa barakah, sehingga
keberadaan bantuan itu tidak begitu berarti.
b) Mempergunakan zakat seefektif mungkin, terutama untuk
keperluan yang paling utama dan mendesak.
c) Jujur dan tidak memanipulasi zakat yang sudah diterima dan
tidak menempatkan pada dua atau lebih posisi mustahiq
sehingga mendapatkan dua porsi atau lebih.
d) Mendoakan para muzakki dengan doa yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW
[Semoga Allah SWT memberikan ganjaran pahala kepadamu
sebagai imbalan pemberianmu, semoga pula Allah Swt menjadikan pemberianmu itu sebagai pembersih dirimu dan
semoga Allah akan memberkati hartamu yang masih ada]
e) Tidak menunjukkan kebencian atau ketidaksenangan kepada
pengelola ketika tidak atau belum mendapatkan bagian dana
zakat.