Blog

FAKIR DAN MISKIN 19 Mei

FAKIR DAN MISKIN

Orang yang tergolong fakir adalah orang yang amat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga serta fasilitas yang dapat
digunakan sebagai lat untuk memenuhi kebutuhan pokok/dasarnya.
Pengarang al-Muhazzab menulis definisi fakir sebagai berikut:
Fakir adalah orang yang tidak memiliki sesuatu
(usaha/alat/media) kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.22
Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa fakir merupakan suatu
keadaan ekonomi yang amat buruk pada seseorang. Tidak punya
usaha dan tidak memiliki penghasilan tetap, serta tidak punya alat dan
kemampuan untuk bekerja. Jika diangkakan mungkin yang didapat
hanya dua atau tiga sementara kebutuhannya sepuluh.
Adapun miskin adalah orang yang memiliki kemampuan untuk
mendapatkan biaya hidup, tetapi tidak cukup kebutuhan hidupnya
dan dalam kekurangan. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa orang
yang miskin nampaknya memiliki sumber penghasilan, hanya saja
masih tetap mengalami kekurangan dalam memenuhi kebutuhan
primernya.
Gambaran orang yag miskin dalam hal ini ialah orang yang
mempunyai barang yang berharga atau pekerjaan yang dapat
menutupi sebagian hajatnya akan tetapi tidak mencukupinya, seperti
orang yang memerlukan sepuluh dirham tetapi hanya mampu
memiliki tujuh dirham.

Persamaan keduanya adalah bahwa keduanya adalah kelompok
orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok. Sementara itu,
perbedaan antara keduanya adalah bahwa orang yang tergolong fakir
adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan dan tidak mempunyai
kemampuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya,
sedangkan miskin adalah mereka yang memiliki penghasilan dan
kemampuan bekerja, tetapi penghasilan tersebut tidak mampu
mencukupi kebutuhan pokoknya.
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa fakir lebih parah
keadaan ekonominya dibanding miskin, tetapi ada pula diantara ulama
yang berpendapat sebaliknya, miskin lebih terpuruk ekonominya
dibandingkan fakir. Namun demikian, sesuai dengan arti harfiah faqir
yaitu berharap dan arti harfiyah sakana yaitu diam/tidak banyak
bergerak/mobilitas rendah, maka orang yang tergolong faqir adalah
orang yang sepanjang hidupnya untuk memenuhi kebutuhannya
selalu berharap dari uluran tangan orang yang lebih beruntung
dibidang ekonomi. Sementara orang yang termasuk kategori miskin
adalah orang yang dalam hidupnya tidak mampu bergerak secara
leluasa untuk berusaha karena keterbatasan modal dan fasilitas.23
Terlepas dari siapa yang lebih buruk dalam keadaan ekonominya
di antara fakir miskin, yang jelas mereka, baik fakir maupun miskin,
adalah orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
atau hajat hidupnya. Batas pemisah antara status fakir dan miskin
dengan kaya adalah kepemilikan terhadap nisab hartanya.
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi
kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi
kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh
mengambil zakat. Alasannya karena Nabi SAW bersabda:

[Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan tidak
pula bagi orang yang kuat untuk bekerja].

Dalam hadits yang lain, Nabi SAW bersabda:

[Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang
yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja].

Batas orang disebut mampu adalah memiliki harta yang melebihi
keperluan-keperluan pokok bagi dirinya dan anak-anaknya, baik
berupa sandang-pangan, tempat, kendaraan alat-alat usaha atau
keperluan-keperluan lain yang tak dapat diabaikan. Maka setiap orang
yang tidak memiliki batas minimum tersebut, disebut fakir yang
mustahiq atau berhak beroleh zakat.

Fakir dan miskin berhak
mendapatkan zakat untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi
tanggungannya selama satu tahun.
Diantara tujuan zakat ialah memberikan kecukupan dan
menutup kebutuhan si miskin.

Maka hendaklah mereka diberi zakat
sebesar jumlah yang dapat membebaskannya dari kemiskinan kepada
kemampuan, dari kebutuhan kepada kecukupan buat selama-lamanya.
Hal ini berbeda melihat kondisi dan situasi.
Adapun standar kecukupan dapat dilihat jika ia memiliki harta
yang mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung, maka tidak

halal zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan
walaupun hartanya mencapai nisab maka ia halal untuk mendapatkan
zakat. Oleh karena itu, boleh jadi orang yang wajib zakat karena
hartanya telah mencapai nisab, sekaligus berhak menerima zakat.
Demikian pendapat mayoritas ulama yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, dan
salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada kebutuhan
primer, yaitu pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang
harus ia penuhi tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan.
Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan dirinya sendiri dan
orang-orang yang ia tanggung nafkahnya. Inilah pendapat mayoritas
ulama.

 

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *