Secara harfiyah fisabilillah berarti pada jalan menuju (ridha) Allah.
Dari pengertian harfiyah ini terlihat cakupan fisabilillah begitu luas,
karena menyangkut semua perbuatan-perbuatan baik yang disukai
Allah SWT. Jumhur ulama memberikan pengertian fisabilillah sebagai
perang mempertahankan dan memperjuangkan agama Allah yang
meliputi pertahanan Islam dan kaum muslimin. Kepada para tentara
yang mengikuti peperangan tersebut, dan mereka tidak mendapat gaji
dari negara, diberikan bagian dana zakat untuk memenuhi
kebutuhannya. Namun demikian, ada diantara mufassirin yang
berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingankepentingan umum, seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, pos
yandu, perpustakaan, dan lain-lain.
Mengenai ibadah haji tidaklah termasuk dalam fisabilillah yang
berhak diberi zakat, karena ia diwajibkan hanyalah atas orang yang
mampu dan tidak atas lainnya.45
Para ulama memang berbeda pendapat tentang makna mustahiq
zakat yang satu ini, yaitu fisabilillah. Perbedaan ini berangkat dari
ijtihad mereka yang cenderung muwassain (meluaskan makna) dan
mudhayyiqin (menyempitkan makna).
Sebagian ulama beraliran mudhayyiqin bersikeras untuk tidak
memperluas maknanya, fisabilillah harus diberikan tetap seperti yang
dijalankan di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, yaitu untuk
para mujahidin yang perang secara fisik.
Sebagian ulama yang beraliran muwassa’in cenderung untuk
memperluas maknanya sampai untuk biaya dakwah dan kepentingan
umat Islam secara umum.
1) Pendapat Pertama
Jumhur ulama termasuk di dalamnya 4 imam mazhab (hanafi,
maliki, syafi’i dan hanbali) termasuk yang cenderung kepada pendapat
yang pertama (mudhayyiqin), mereka mengatakan bahwa yang
termasuk fi sabilillah adalah para peserta pertempuran fisik melawan
musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam.
Kalangan ulama kontemporer yang mendukung hal ini adalah Syeikh
Muhammad Abu Zahrah.
Perbedaannya bukan dari segi dalil, tetapi dari segi manhaj atau
metodologi istimbath ahkam. Yaitu sebuah metode yang merupakan
logika dan alur berpikir untuk menghasilkan hukum fiqih dari
sumber-sumber Al-Quran dan Sunnah.
Mereka yang termasuk ke dalam pendapat ini adalah Jumhur
Ulama. Dalilnya karena di zaman Rasulullah SAW memang bagian fi
sabilillah tidak pernah digunakan untuk membangun masjid atau
madrasah. Di zaman itu hanya untuk mereka yang jihad secara pisik
saja.
Para ulama jumhur mengatakan bahwa para mujahidin di medan
tempur mereka berhak menerima dana zakat, meskipun secara materi
mereka cukup berada. Sebab dalam hal ini memang bukan sisi
kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa yang
dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.
Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, di
mana mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak
termasuk di dalam kelompok penerima zakat. Namun seorang peserta
perang yang kaya, tidaklah berperang dengan menggunakan harta
yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang kaya, bila
kekayaannya itu mewajibkan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan
harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat.
Apabila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan
harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan. Dia
harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana zakat. Namun
Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang yang kaya akan ikut serta
dalam peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta
zakat.
2) Pendapat Kedua
Sedangkan para ulama yang lain cenderug meluaskan makna fi
sabilillah, tidak hanya terbatas pada peserta perang fisik, tetapi juga
untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain. Diantara yang
mendukung pendapat ini adalah Syeikh Muhammad Rasyid Ridha,
Dr. Muhammad `Abdul Qadir Abu Farisdan Dr. Yusuf Al-Qradawi.
Dasar pendapat mereka juga ijtihad yang sifatnya agak luas serta
bicara dalam konteks fiqih prioritas. Masa sekarang ini, lahan-lahan
jihad fisabilillah secara fisik boleh dibilang tidak terlalu besar.
Sementara tarbiyah dan pembinaan umat yang selama ini terbengkalai
perlu pasokan dana besar. Apalagi di negeri minoritas muslim seperti
di Amerika, Eropa dan Australia.
Kalau yang dibutuhkan adalah jihad bersenjata, maka dana zakat
itu memang diperlukan untuk biaya jihad. Tapi kalau kesempatan
berdakwah secara damai di negeri itu terbuka lebar, bagaimana
mungkin biaya zakat tidak boleh digunakan.
Oleh karena itu, dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf alQaradawi menyebutkan bahwa asnaf fisabilillah, selain jihad secara
fisik, juga termasuk di antaranya adalah:
a) Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami)
yang menunjang program dakwah Islam di wilayah
minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada non
muslim di berbagai benua merupakan jihad fisabilillah.
b) Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami)
di negeri Islam sendiri yang membimbing para pemuda
Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi
mereka dari pengaruh ateisme, kerancuan fikrah,
penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk
menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam
adalah jihad fisabilillah.
c) Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi
tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan
yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan
keraguan yang disuntikkan musuh Islam, serta
mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya
adalah jihad fisabilillah.
d) Membantu para da’i Islam yang menghadapi kekuatan
yang memusuhi Islam di mana kekuatan itu dibantu oleh
para thaghut dan orang-orang murtad, adalah jihad
fisabilillah.
e) Termasuk diantaranya untuk biaya pendidikan sekolah
Islam yang akan melahirkan para pembela Islam dan
generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang
calon kader dakwah/ da`i yang akan diprintasikan
hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui ilmunya
adalah jihad fisabilillah