Adapun rukun zakat ialah mengeluarkan sebahagian dari nisab
(harta) dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya
sebagai milik orang fakir, dan menyerahkannya kepadanya atau harta
tersebut diserahkan kepada wakilnya, yakni imam atau orang yang
bertugas untuk memungut zakat.
Gharim adalah orang yang punya hutang. Hutang yang dimaksud
adalah berhutang untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak
sanggup membayarnya.
Dalam mendefinisikan al-gharim, para ulama berbeda-beda. Ada
yang mengatakan bahwa al-gharim adalah orang yang terlilit hutang.
Ada juga yang menambahkan definisi ini dengan menyertakan
penyebanya. Mujahid mengatakan al-gharim adalah orang yang
menanggung hutang karena rumahnya terbakar, atau hartanya terseret
banjir, atau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ibnu Atsir
menambahkan al-gharim adalah orang yang menjamin pelunasan
hutang orang lain, atau orang yang bangkrut guna mencukupi
kebutuhan hidup, tidak untuk berbuat maksiat atau berlaku boros
(tabdzir).
Seorang ahli tafsir dari kaum salaf mengartikan gharimin dalam
ayat yang menjelaskan tentang golongan penerima zakat, yaitu orang
yang terbakar rumahnya atau hilang sumber penghidupannya karena
suatu sebab. Lalu ia meminjam uang untuk menghidupi keluarganya.
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnahnya, gharim adalah
orang-orang yang berhutang dan sukar untuk membayarnya. Mereka
di antaranya, pertama adalah orang yang memikul hutang untuk
mendamaikan sengketa, atau menjamin utang orang lain hingga harus
membayarnya yang menghabiskan hartanya. kedua adalah orang yang
terpaksa berhutang karena memang membutuhkannya untuk
keperluan hidup atau membebaskan dirinya dari maksiat. Maka
mereka semua boleh menerima zakat yang cukup untuk melunasi
hutang
Hal ini didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi yang menyatakannya
sebagai hadis hasan, dari Anas r.a bahwa Nabi SAW bersabda:
[Tidak halal meminta itu, kecuali bagi tiga orang: orang miskin yang demikian
papa, orang yang memikul utang yang berat, atau orang yang akan membayar
tebusan darah]
Biasanya di kalangan Arab, bila timbul suatu sengketa yang
berakibat mesti dibayarnya denda, tebusan dan lain-lain, tampillah
seseorang yang berjanji akan membayarkannya secara sukarela, demi
untuk mengatasi sengketa yang sedang terjadi itu. Tak dapat
disangkal, bahwa hal ini merupakan suatu budi yang mulia. Jika
diketahui oleh umum bahwa ada seseorang yang menanggung
hammalah tersebut, mereka pun segera turun tangan memberikan
bantuan dan menyerahkan apa yang dapat membebaskannya dari
hutang. Seandainya yang berutang itu meminta sendiri, tidaklah
demikian akan merendahkan martabatnya, sebaliknya hal itu dianggap
sebagai suatu kebanggaan.
Pada dasarnya aturan yang ada dalam Islam senantiasa
memperhatikan berbagai permasalahan yang sama sekali tidak
diperdulikan oleh aturan atau undang-undang lainnya, khususnya
dalam memberikan bantuan kepada seseorang yang tertimpa musibah
dan bencana. Sebagaimana memberikan bantuan kepada gharimin
dengan memberikan dana yang dapat digunakan untuk melunasi
hutangnya, baik disebabkan oleh kepentingan umum seperti menjadi
penengah diantara dua pihak yang bertikai, maupun berhutang untuk
kepentingan individu atau keluarga.
Adapun yang mendapatkan prioritas adalah orang yang
berhutang untuk mengerjakan suatu kebajikan dan pada saat itulah ia
pantas untuk diperhatikan dan dibantu guna lebih memotivasi akhlak
yang mulia. Mereka pantas mendapatkannya dari zakat, walaupun
mereka mampu. Sedangkan orang yang berhutang karena penyebab
lainnya, maka ia tidak dibantu kecuali sekiranya ia benar-benar tidak
dapat membayar hutangnya tersebut, baik keseluruhan maupun hanya
sebagian darinya, dan orang-orang inilah yang dimaksudkan dalam
hadis.
Dalam mengamati permasalahan yang dialami oleh gharimin,
lembaga zakat tidak mengambil posisi diam, melainkan membantunya
dalam melepaskan diri dari jeratan hutang dan melepaskan
ketergantungan dari hutang tersebut, walaupun hutang yang ada
dalam jumlah yang besar, selama yang melakukannya bukanlah orang
yang berhutang untuk bermaksiat di jalan Allah, maka lembaga zakat
berkewajiban membantunya.
Syariah Islam tidak akan membebani seorang yang berhutang
untuk menjual kebutuhan pokoknya agar ia bisa membayar
hutangnya. Bahkan lembaga Baitul Mal tetap menangani masalah
hutangnya dan membiarkan sepenuhnya rumah, perabotan, barangbarang, kendaraan dan semua yang menjadi kebutuhan pokoknya,
berada di bawah kepemilikan orang tersebut. Inilah yang ditetapkan
oleh Syariah dan yang pernah diterapkan dalan sejarah peradaban
Islam.
Lembaga zakat tidak hanya mengurusi hutang orang yang masih
hidup saja, namun juga mengurusi hutang orang yang telah meninggal
hingga ia bisa bebas dari tanggungannya di hadapan Allah SWT dan
agar hak orang yang dihutangi tidak hilang. Karena itu, Umar bin
Abdul Aziz menuliskan kepada Ibnu Hazm: “Sesungguhnya semua
yang telah binasa (meninggal) dan ia mempunyai hutang yang
sebelumnya ia pinjam bukan utnuk sesuatu hal yang bodoh, maka
bayarkanlah hutangnya dari Baitul Mal.”
Umar bin Abdul Aziz bukanlah orang pertama yang mengonsep
hal ini, namun hal ini dilakukan mengikuti sunnah Rasulullah yang
mebayarkan hutang orang Muslim yang sudah meninggal–dengan
posisi sebagai pemimpin mereka-, setelah harta yang didapatkan dari
fa’i, ghanimah, dan sadaqah terkumpul banyak. Ia mengumumkan
kebijakan tersebut dengan ungkapan: “Aku adalah orang yang paling
pertama peduli dengan masalah kaum muslimin. Barangsiapa yang
meninggalka harta, maka jatuh kepada ahli warisnya. Barangsiapa yang
meninggalkan hutang atau dhiya’an (anak-anak kecil yang tidak
mempunyai siapapun dan mempunyai kebutuhannya sendiri), maka
akulah yang menangani masalahnya.”
Maka dari itu diwajibkan untuk membayarkan hutang orang yang
sudah meninggal yang diambil dari lembaga zakat dengan landasan
keumuman lafadz dalam ayat dan juga dalam hadis yang telah
disebutkan. Ini adalah pendapat yang diungkapkan oleh Imam Malik
dan Abu Tsauri dan yang dipilih oleh Imam Ibnu Taimiyah.38
Terdapat maksud dan tujuan aturan Islam memerintahkan untuk
membayarkan hutang para gharimin.
39 Pertama, karena hal ini
berkaitan dengan orang yang berhutang dan sangat terbebani oleh
hutangnya. Ia akan begadang setiap malamnya dan juga setiap
siangnya hanya untuk memikirkan hal ini. Hutangnya inilah yang
menyebabkan ia selalu dikejar-kejar dan memungkinkan untuk
dihukum atau dipenjara, sehingga diisukan dengan pemberitaan yang
negatif.
Apabila hutangnya tersebut dibayarkan, maka dapat
menghilangkan bebannya serta membangun kembali kepercayaan
diri. Ia tidak akan dicemaskan oleh hari-harinya dan tidak pula
berputus asa terhadap masa depannya, bahkan ia dapat kembali
beraktifitas dengan baik tanpa perasaan pesimis. Dengan demikian
produktivitas hidup akan meningkat.
Kedua, karena hal ini berkaitan dengan orang yang memberikan
pinjaman serta turut membantunya dalam kepentingan proyek. Bisa
jadi, proyek yang dikerjakannya mampu meningkatkan produktivitas
dan pengembangan hidup yang berguna bagi masyarakat. Saat
lembaga zakat membantu mengembalikan pinjaman, maka orangorang yang meminjamkan akan lega hatinya. Karena, uang yang
dipinjamkan tidak akan hilang, selama uang yang ada dalam lembaga
zakat sangat berlebih dan juga menghasilkan banyak pemasukan.
Dengan demikian akan memotivasi seseorang untuk lebih membantu
orang lain, sebagaimana sistem ini juga ampuh dalam memerangi riba.