Secara bahasa ibnu sabil terdiri dari dua kata: ibnu yang berarti
anak dan sabil yang berarti jalan. Jadi ibnu sabil adalah anak jalan,
maksudnya orang yang sedang dalam perjalanan, dengan istilah lain
adalah musafir. Perjalanan yang dimaksud di sini adalah perjalanan
yang bukan untuk maksiat, melainkan perjalanan untuk menegakkan
agama Allah SWT.
Para ulama sepakat bahwa musafir yang terputus dari negerinya,
diberi bagian zakat yang akan dapat membantunya mencapai maksud,
jika tidak sedikit pun dari hartanya yang tersisa, disebabkan
kemiskinan yang dialaminya. Dalam hal ini mereka mensyaratkan
bahwa perjalanannya itu hendaklah dalam melakukan ketaatan atau
tidak dalam kemaksiatan.
Menurut golongan Syafi’i ini, ibnu sabil itu ada dua macam.
Pertama, orang yang mengadakan perjalanan di negeri tempat
tinggalnya, artinya di tanah airnya sendiri. Kedua, orang asing yang
menjadi musafir, yang melintasi sesuatu negeri. Kedua golongan itu
berhak menerima zakat, walau ada yang bersedia meminjaminya uang,
sedang di tanah airnya ada hartanya untuk pembayar nanti.
Menurut Malik dan Ahmad, ibnu sabil yang berhak menerima
zakat itu khusus bagi yang melewati sesuatu negeri, bukan musafir
dalam negeri. Bagi mereka pula, tidak boleh diberi zakat musafir yang
menemukan seseorang yang akan mempiutanginya, sedang di
kampungnya ada harta yang cukup untuk membayar hutangnya itu.
Jika tidak seorangpun yang bersedia memberinya pinjaman, atau tidak
punya harta untuk membayar hutangnya, barulah ia diberi bagian.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa,
[As-Sabil artinya jalan. Ibnu Sabil artinya musafir. Disebut Ibnu Sabil (anak
jalanan), karena dia selalu di perjalanan. Dan orang yang selalu berada di
posisi tertentu, terkadang dinisbahkan kepada sesuatu itu dengan hubungan
anak. Seperti, Ibnul Maa (anak air), karena selalu berada di tempat air.
Karena itulah, maksud dari Ibnu Sabil adalah musafir yang sedang di
perjalanan. Sementara makna musafir yang tidak bisa melanjutkan
perjalanan, artinya orang yang kehabisan bekal, sehingga dia tidak memiliki
bekal perjalanan pulang ke daerahnya].
Beliau melanjutkan
[Adapun orang yang berada di daerahnya, dan hendak berangkat safar, maka
dia belum disebut Ibnu Sabil. Karena itu, tidak boleh diberi zakat untuk
kondisi ini… Ibnu Sabil diberi zakat untuk menutupi kebutuhannya, dan
bukan syarat dia harus orang miskin di daerahnya].49
Para ulama sepakat bahwa bila ada seorang yang hartanya paspasan, lalu dia kehabisan bekal dalam perjalanannya, maka dia
termasuk orang yang berhak menerima harta zakat. Namun jika
dilihat dari penjelasan sebelumnya, para ulama berbeda pendapat, bila
orang yang kehabisan harta itu termasuk orang yang berkecukupan di
tempat asalnya. Perbedaan pendapat terjadi apakah tetap diberi zakat
atau sebaiknya dia berhutang saja.
Pendapat pertama, mazhab Hanafi mengatakan dalam kasus ini
sebaiknya orang kaya itu berhutang saja, dan tidak berhak untuk
menerima harta zakat. Demikian juga mazhab Malikiyah, mereka
bahkan mewajibkan orang kaya itu untuk berhutang dan bukan
menerima harta zakat. Sebab orang itu adalah orang kaya di tempat
tinggalnya, mana mungkin zakat diberikan kepada orang kaya, dimana
dia mampu untuk mengganti uang yang bisa dia pinjam dari orangorang.
Pendapat kedua, mazhab Syafi’i dan Hanabilah tidak melarang
orang kaya di tempat tinggalnya untuk menerima harta dari zakat bila
dia kehabisan bekal. Meski dia kaya di tempat tinggalnya, tetapi pada
saat sedang kehabisan bekal dia tidak bisa disebut kaya. Dia tetap butuh pertolongan dan santunan, setidaknya untuk bisa kembali ke
tempat tinggalnya. Tidak mudah bagi seseorang yang dalam
perjalanannya untuk bisa begitu saja berhutang kepada orang lain.
Sebab dimana-mana hutang itu butuh jaminan, sementara tidak ada
yang bisa dijaminkan dalam keadaan seperti itu.
Beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama bagi
ibnu sabil agar berhak mendapatkan harta zakat, antara lain:
a) Muslim dan bukan Ahlul Bait. Syarat ini adalah syarat paling
standar bagi semua penerima harta zakat.
b) Tidak ada harta lain di tangannya. Syarat ini menegaskan bahwa
bila seorang musafir masih punya harta dari jenis yang lain
yang bisa mengantarkannya sampai ke rumahnya, maka dia
belum termasuk mustahiq zakat.
c) Bukan perjalanan maksiat. Seorang yang kehabisan bekal dalam
perjalanan memang berhak menerima santunan dari zakat
dengan syarat perjalanannya itu bukan perjalanan yang
maksiat dan tidak diridhai Allah SWT.
d) Tidak ada pihak yang bersedia meminjamkannya. Syarat ini khusus
hanya diajukan oleh mazhab Malikiyah saja. Bila orang kaya
di tempat tinggalnya dan dia bisa berhutang untuk nantinya
diganti dengan hartanya setelah kembali, maka menurut AlMalikiyah, orang itu tidak berhak menerima santunan dari
harta zakat.